JAWATIMURNEWS.COM
贪心不足蛇吞象
Tān xīn bùzú shé tūn xiàng
Keserakahan yang tak terpuaskan seolah seekor ular mencoba menelan seekor gajah.
Keserakahan dan ketamakan pada akhirnya hanya akan menghancurkan diri sendiri, seperti ular yang mencoba menelan gajah, akhirnya mati sendiri.
Jadi apa solusinya?
Atasi sifat iri hati dan tak pernah puas itu dalam keluarga dan sekolah.
Hanya dengan membersihkan hati dari sifat serakah dan tak pernah puas ini, maka korupsi bisa diatasi, sebelum sempat menghancurkan diri sendiri. Bersyukur, memaknai hidup secukupnya ( sak cukupe ), akan menenteramkan hati dari bara keserakahan dan api ketamakan, membuat hati bersih dan tenang, jauh dari niat korupsi. Hati yang bersih memutus rantai korupsi.
Memutus rantai korupsi juga harus dilakukan dengan keteladanan, pendidikan kharakter bersih, cukup dan bersyukur. Akar korupsi adalah mental serakah, ingin lebih, tak mau kalah, yang dibina dan terbina sejak anak masih kecil. Ini hanya bisa dibinasakan dengan pendidikan kharakter, pendampingan emosi dan keteladanan sejak usia dini.
Penanaman kebiasaan bersyukur, nilai cukup, mau menunggu dan mau berterima kasih, hormat kepada orang lain, sangat diperlukan sejak dini agar anak tidak tumbuh menjadi insan dewasa pemuja keduniawian dan kemewahan, lupa akan makna dan manfaat kehidupan.
Jadikan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, kesederhanaan, rasa syukur, rasa hormat sebagai bagian dari sistem pendidikan sejak dini, bukan hanya materi tempelan atau slogan kosong, bukan hanya nilai angka dan kemenangan tanpa makna.
Bagaimana dari sisi pemerintah?
Jaga transparansi tanpa basa-basi.
Buat anggaran yang terbuka, bisa diakses publik dan dipahami rakyat. Terapkan keterbukaan dan kejujuran dalam sistim pengelolaan negara, bukan sekedar sistim untuk diakali, dan aturan untuk dilanggar. Buang budaya pelapor jadi terlapor, dan dibungkam, buang ruang bisik-bisik dan klesak-klesik, demi keuntungan pribadi.
Bagaimana dengan para pemimpin?
Pemimpin yang berasal dari rakyat, pasti pernah merasakan sulitnya hidup dakam kemiskinan. Jadikan kepemimpinannya untuk lebih menyadari sulitnya rakyat miskin hidup seperti dulu dia semasa masih miskin. Jangan malah silau menjadikan kesempatan memperkaya diri dan menggendutkan pundi-pundi uangnya. Pemimpin hebat tidak diukur dari kekayaannya, tapi dari keberaniannya untuk hidup bersih, apa adanya, bukan ada apanya, di tengah tekanan keserakahan dan ketamakan.
Seperti ayat Alkitab: "Jangan memutarbalikkan keadilan... jangan menerima suap” (Ulangan 16:19), dan
Kata Al-Qur’an: “Janganlah memakan harta sesamamu dengan cara batil” (QS. An-Nisa: 29)
Bila keluarga adalah akar penumbuh hidup baik, dan pendidikan adalah pohon pengayom hidup bermartabat, maka agama adalah pilar penuntun hidup yang bermakna: berani hidup bersih, berani hidup jujur dan menjauhkan diri dari iri hati dan keinginan untuk korupsi.
Biarkan anak tumbuh dalam hidup yang bermakna: bahwa sukses bukan diukur dari kemewahan dan kemegahan, melainkan dari nilai-nilai hidup baik yang diwariskan.
Pendidikan dan agama harus menginspirasi akhlak positif, bukan hanya memberi nasihat dalam kata, tetapi harus hidup dalam tindakan nyata.
Seorang bijak pernah berkata: "Orang yang iri hati pada keberhasilan orang lain akan terus hidup sebagai bayang-bayang, tak pernah bisa menjadi cahaya."
Korupsi tak akan pernah tuntas walau kita sibuk mengadili dan menghukum pelaku, tanpa menyentuh akar emosionalnya: iri hati. Ini saatnya kita putus rantai iri hati dengan membangun generasi muda yang pintar, tapi memiliki hati yang bersih dan baik secara emosional dan spiritual.
Referensi:
1. Chinese Proverbs and Popular Sayings (Qin Xue Herzberg, 2012). Konsep "Wu Xing" (Lima Unsur)* dalam filsafat Tionghoa: Keserakahan merusak keseimbangan hidup.
2. Teori "Relative Deprivation" (Stouffer, 1949): Perasaan iri muncul ketika orang merasa dirugikan dibanding orang lain.
3. Penelitian Neurologi: Iri hati mengaktifkan area otak yang sama dengan rasa sakit fisik (Nature Neuroscience, 2008).
4. Pendidikan emotional intelligence (Goleman, 1995) untuk mengelola iri hati.
5. "Sa-cukupe" (rasa cukup) sebagai konsep terapi kepuasan hidup (Ki Ageng Suryomentaram, Kawruh Begja).
6. Keluarga sebagai "Sekolah Pertama": Teori Social Learning (Bandura, 1977): Anak meniru perilaku orang tua.
7. Ajari anak menunda kepuasan (eksperimen "Marshmallow Test" Walter Mischel).
8. Biasakan ucapan "Terima kasih" untuk melatih syukur ( Positive Psychology, Seligman).
9. Integrasi nilai KPK (Kejujuran, Tanggung Jawab, Kesederhanaan) ke kurikulum.
10. Character Education (Thomas Lickona, 1991).
11. Open Budget Index (International Budget Partnership): Negara dengan anggaran terbuka memiliki korupsi lebih rendah.
12. Buddhisme: "Akar penderitaan adalah keinginan" ( Dhammapada ).
13. Konfusianisme: 君子喻于义,小人喻于利 - Orang bijak berpikir tentang keadilan, orang picik tentang keuntungan
14. Psikologi Spiritual: Penelitian menunjukkan orang yang rajin beribadah cenderung lebih rendah risikonya melakukan korupsi ( Journal of Business Ethics, 2010).
Buku Utama:
1. Herzberg, Qin Xue. (2012). Chinese Proverbs and Popular Sayings.
2. Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character.
3. Alkitab (Ulangan 16:19) dan Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 29).
4. Ki Ageng Suryomentaram. Kawruh Begja ( Filsafat Jawa tentang kebahagiaan).
5. Data Transparency International dan Open Budget Index.
Korupsi bukan budaya tapi penyakit sosial akibay iri hati dan keserakahan. Korupsi tak dimulai dari meja kerja tapi dari hati yang gelap oleh keserakahan dan jiwa yang kelam oleh keinginan. (Red) - [Rilis Up JTN Red]
No one has commented yet. Be the first!