Dilihat 1 kali
SURABAYA – Beredarnya video yang memperlihatkan helikopter militer menjatuhkan atau "melempar" kardus bantuan logistik kepada korban bencana alam tanpa mendarat sering kali memicu perdebatan publik. Sebagian masyarakat menilai tindakan tersebut kurang etis atau berisiko merusak barang bantuan. Namun, di balik aksi yang tampak kasar tersebut, terdapat alasan taktis demi keselamatan dan dasar hukum yang kuat yang melindunginya.
Alasan Helikopter Lempar Bantuan Korban Bencana sumatera, aceh dan Dasar Hukumnya Menurut Pakar Pidana Militer, dengan penjelasan mendalam mengenai alasan prosedur air drop (penjatuhan dari udara) dan pandangan hukumnya.
Menurut Pakar Hukum Pidana Militer Akademisi Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, " Muhammad Fadil Muzakki, S.H., M.H." alasan Taktis dan Keselamatan Penerbangan.
Dalam operasi tanggap darurat bencana, pilot helikopter dihadapkan pada situasi yang jauh berbeda dengan penerbangan komersial, keputusan untuk melakukan hovering (terbang diam di tempat) dan menjatuhkan logistik, alih-alih mendarat (landing), didasarkan pada tiga faktor krusial:
• Ketiadaan Landasan yang Aman (Landing Zone)
Lokasi bencana sering kali memiliki topografi yang rusak, tanah yang labil, atau tertutup puing-puing. Mendaratkan helikopter seberat beberapa ton di tanah lunak berisiko membuat roda helikopter terperosok (sink), yang dapat menyebabkan helikopter terguling dan meledak.
• Bahaya Downwash (Hembusan Angin Rotor)
Helikopter militer menghasilkan hembusan angin ke bawah (rotor downwash) yang sangat kuat. Jika helikopter mendarat di tengah permukiman rusak, angin ini dapat menerbangkan atap seng, puing bangunan, atau pohon tumbang yang justru membahayakan pengungsi di bawahnya.
• Risiko Kerumunan Massa (Crowd Control)
Ini adalah alasan paling krusial. Dalam situasi bencana, korban sering kali panik dan putus asa. Jika helikopter mendarat, ada risiko massa akan menyerbu helikopter sebelum baling-baling berhenti berputar. Hal ini sangat fatal karena baling-baling ekor (tail rotor) yang berputar sangat cepat sering tidak terlihat dan bisa memenggal siapa saja yang mendekat tanpa aturan.
Selanjutnya, metode air drop memastikan bantuan sampai tanpa membahayakan nyawa pengungsi maupun awak pesawat akibat kerumunan yang tidak terkendali sedangkan dasar hukum menjelaskan bahwa tindakan personel TNI dalam operasi bencana dilindungi oleh undang-undang dan doktrin hukum pidana, selama dilakukan dalam konteks tugas negara dan keadaan darurat, ujarnya.
Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
Secara administratif, tindakan ini didasarkan pada UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) adalah membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan.
"Dalam konteks OMSP, kecepatan dan keselamatan adalah prioritas. Prosedur standar dalam keadaan normal bisa dikesampingkan demi tujuan penyelamatan nyawa yang lebih besar (logistik sampai ke warga terisolir)," ujar ahli hukum tersebut.
Konsep Overmacht (Daya Paksa)
Dalam perspektif hukum pidana, jika ada kerusakan barang akibat dilempar, tindakan prajurit tersebut dilindungi oleh Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht).
"Pasal 48 KUHP berbunyi: 'Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana'. Situasi bencana adalah kondisi force majeure di mana pilot harus memilih antara risiko mendarat yang membahayakan nyawa banyak orang atau menjatuhkan bantuan dengan risiko kerusakan minor pada barang," Ucap Fadil.
Dalam hukum pidana, dikenal asas proporsionalitas. Menjatuhkan bantuan adalah pilihan yang paling logis dan proporsional untuk menyelamatkan nyawa (memberi makan korban) dibandingkan risiko mendarat yang bisa mematikan.
Tidak Adanya Mens Rea (Niat Jahat)
Unsur utama pidana adalah adanya niat jahat (mens rea). Dalam kasus ini, niat prajurit adalah murni kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan secepat mungkin ke daerah yang tidak terjangkau jalur darat.
"Tidak bisa dipidanakan atau disebut pelanggaran disiplin, karena unsur 'melawan hukum' secara materiil tidak terpenuhi. Justru jika mereka tidak memberikan bantuan karena takut prosedur, itu bisa dianggap kelalaian tugas," ungkapnya.
Dengan demikian berkesimpulan,
masyarakat diimbau untuk memahami bahwa "melempar" bantuan dari helikopter bukanlah bentuk ketidaksopanan atau arogansi aparat. Sebaliknya, itu adalah prosedur standar keselamatan (Safety Procedure) yang telah diperhitungkan secara matang oleh pilot dan kru militer untuk memastikan bantuan sampai ke tangan korban tanpa menambah daftar korban jiwa akibat kecelakaan penerbangan di lokasi bencana.(IMRON/JTN)



