Hutan mangrove di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya (KKR), menjadi perhatian serius pengamat hukum dan kebijakan publik Kalbar, Dr. Herman Hofi Munawar. Berdasarkan berbagai informasi, kawasan ini merupakan ekosistem mangrove terluas di Kalimantan Barat dengan luasan mencapai 129.604 hektare atau sekitar 75,84% dari total mangrove di provinsi tersebut.Namun, keberadaan ekosistem yang sangat vital ini tengah menghadapi ancaman serius.
Dr. Herman menyayangkan pembabatan ilegal yang terus terjadi di kawasan tersebut. Ia menilai kegiatan perusakan mangrove seolah-olah dibiarkan bahkan seakan mendapat restu dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan.
โMangrove di Kecamatan Kubu bukan hanya penting secara ekologis, tapi juga dilindungi oleh undang-undang. Pembabatan itu adalah pelanggaran hukum,โ tegas Dr. Herman. Selasa, 6 Mei 2025.
Mengacu pada peraturan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 27 Tahun 2007 (yang telah diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurutnya, mangrove merupakan bagian dari hutan yang dilindungi, meski secara administrasi tidak selalu masuk kategori hutan lindung.
โPasal 50 UU Kehutanan secara jelas melarang penebangan di kawasan hutan lindung. Tindakan pembabatan ini termasuk tindak pidana dengan ancaman hukuman hingga 7 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar,โ tambahnya.
Dr. Herman juga menyoroti lemahnya koordinasi antarinstansi seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan, yang menyebabkan minimnya pengawasan dan penegakan hukum.
โKajian dari IPB menunjukkan bahwa sebagian kawasan mangrove di Kubu dan Batu Ampar telah dialihfungsikan. Ini menyebabkan degradasi ekosistem dan mengancam fungsi mangrove sebagai pelindung pesisir dan penyerap karbon,โ ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai Pemkab Kubu Raya belum menunjukkan langkah konkret dan terukur dalam menertibkan pembabatan hutan mangrove. Bahkan dinilai ironis, saat pemerintah meluncurkan program restorasi mangrove dengan anggaran besar, di sisi lain pembabatan terus terjadi tanpa sanksi tegas.
โPenegakan hukum sangat lemah. Aparat penegak hukum seolah pasif dan tidak konsisten. Padahal pembabatan mangrove ini termasuk dalam delik formil maupun materil, artinya, baik perbuatan maupun dampaknya adalah pelanggaran hukum,โ tegasnya.
Dr. Herman menegaskan, tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk tidak bertindak. Ia mendesak agar pemerintah dan penegak hukum segera mengambil tindakan nyata untuk menghentikan perusakan mangrove sebelum dampaknya makin meluas dan tak terkendali.