JTN UPDATE : Kamis 15 Mei 2025 06:29:14 AM

Perundingan I-EU CEPA Membajak Hak-Hak Demokrasi dan Mengabaikan Dampak bagi Masyarakat

Dilihat 0 kali

@JAWATIMURNEWS.COM
Indonesia AIDS Coalition (IAC) - Sumber VRITIMES.com

Indonesia AIDS Coalition (IAC), bersama mitra lain mengkritik putaran perundingan ke-19 Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU CEPA) yang diadakan pada tanggal 1-5 Juli 2024. Perundingan ini dinilai telah mengabaikan hak-hak demokrasi dan berdampak negatif pada masyarakat. Salah satunya adalah akses masyarakat ke obat terjangkau.

Indonesia AIDS Coalition (IAC), bersama mitra lainnya, mengkritik putaran perundingan ke-19 Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU CEPA) yang diadakan pada tanggal 1-5 Juli 2024. Perundingan ini dinilai telah mengabaikan hak-hak demokrasi dan berdampak negatif pada masyarakat.

Ferry Norila, Koordinator Komunikasi, Kampanye, & Advokasi IAC, menambahkan bahwa monopoli paten telah berdampak negatif pada akses masyarakat ke obat, terutama untuk pasien seperti HIV, TB, dan hipertensi paru yang perlu meminum obat secara rutin. “Kelompok pasien dengan tegas menolak klausul TRIPS Plus yang akan memperkuat monopoli dan meningkatkan harga obat. Perjanjian ini melukai dan berdampak serius pada akses masyarakat ke obat,” ujar Ferry. 

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, menekankan bahwa perundingan I-EU CEPA dilakukan tanpa mendengar aspirasi publik dan partisipasi masyarakat sipil yang bermakna. “Perundingan I-EU CEPA ini harus dihentikan karena tidak mengakomodir kepentingan rakyat. Proses yang tertutup dan tidak transparan akan merugikan masyarakat,” ungkap Maulana.

Dampak I-EU CEPA pada Akses Masyarakat ke Obat-Obatan yang Terjangkau

Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ, menjelaskan bahwa I-EU CEPA akan berdampak buruk pada akses masyarakat ke obat-obatan yang terjangkau. Bab Kekayaan Intelektual dalam perjanjian ini mengandung klausul ‘TRIPS Plus’ yang memperketat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di atas standar internasional. “Perpanjangan masa perlindungan paten dan larangan impor paralel akan memperlambat masuknya obat generik dan menyebabkan harga obat menjadi mahal,” jelas Hanim.

Arni Rismayanti, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait akses pasien hipertensi paru ke obat-obatan yang terjangkau. “Banyak obat yang dibutuhkan tidak tersedia atau dijual dengan harga sangat mahal di Indonesia. Kami menolak klausul TRIPS Plus dalam I-EU CEPA karena akan semakin membebani pasien,” jelas Arni.

Contohnya adalah Macitentan, yang harganya di Indonesia mencapai 31 juta Rupiah untuk satu bulan. Sedangkan versi generiknya hanya 1,5 juta Rupiah per bulan. Variasi jenis obat hipertensi paru amat dibutuhkan oleh pasien karena sifat penyakitnya yang progresif, sehingga seiring dengan berjalannya waktu pasien membutuhkan penyesuaian dosis dan variasi jenis obat hipertensi paru untuk dapat bertahan hidup.

“Di antara 15 jenis obat hipertensi paru yang ada di dunia, obat golongan Endothelin Receptor Antagonist (Bosentan, Ambrisentan, dan Macitentan) adalah yang terjangkau selain Beraprost, Iloprost, dan Sildenafil yang memang sudah tersedia di Indonesia. Sedangkan sisanya bisa mencapai ratusan juta untuk kebutuhan satu bulan,” tambah Arni. 

Seruan untuk Pemerintah Indonesia

IAC dan para mitranya mendesak Pemerintah Indonesia untuk menolak klausul TRIPS Plus yang diusulkan oleh Uni Eropa. Hal tersebut mencakup perpanjangan masa perlindungan paten, eksklusivitas data dan pasar, serta pembatasan impor paralel. Ferry Norila menegaskan bahwa perundingan tidak boleh dilakukan secara terburu-buru, terlepas dari target bersama untuk menyelesaikan perundingan sebelum bulan Oktober 2024.

“Kami tidak ingin Pemerintah Indonesia melakukan perundingan secara terburu-buru sehingga menyetujui klausul yang jelas-jelas merugikan, salah satunya adalah TRIPS Plus. Untuk itu, kami mendorong Pemerintah Indonesia untuk terus mempertahankan posisi sebagai negara yang berdaulat dan tidak tunduk kepada tuntutan pihak lain. No deal is better than a bad deal,” tutup Ferry.

Tentang Indonesia AIDS Coalition

Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan.

Berdiri sejak tahun 2011, IAC memiliki pengalaman pengelolaan dana hibah yang ekstensif dan menjalin kemitraan dengan sejumlah K/L dan lembaga internasional seperti Komisi 9 DPR, Kementerian Kesehatan, Kantor Staf Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Komnas HAM, Komnas Perempuan, UNAIDS, UNFPA, UN Women, UNDP, kelompok pasien, serta jaringan nasional populasi kunci. Selengkapnya di: iac.or.id/id

Press release ini juga sudah tayang di VRITIMES 

Punya Produk UKM/PIRT, pasang iklan disini Rp.100.000/Tahun klik gambar dibawah


@Redaksi JAWATIMURNEWS
Editor : Zahrudin-Haris-Athallah SND
Sumber : JTN MEDIA NETWORK
Previous Post Next Post

Contact Form

ASEAN Sparks Siap Mempercepat Inovasi Energi Terbarukan di Asia Tenggara | Cross Hotels & Resorts Umumkan Ekspansi Dual-Brand di Proyek Landmark Batam | Presdir Sampoerna Ivan Cahyadi Dinobatkan sebagai CEO of the Year | Diskon 10% Tiket KA! Spesial Surabaya Shopping Festival 2025 di Access by KAI | Relish Moves! – Serunya Berolahraga di Tengah Kota Jakarta Bersama Relish Bistro | Peran Trafo Kering dalam Pengurangan Risiko Kebakaran di Bangunan | Luar Biasa! 9 Tahun Komitmen LindungiHutan Bersama Komunitas Penjaga Alam | Pemkab Mojokerto Anggarkan 1 M Untuk Kesejahteraan 15.358 Pekerja Ekosistem Desa | Waisak di Maha Vihara Majapahit Penuh Makna, Wakil Bupati Ajak Perkuat Toleransi | Kunjungi Galeri Soekarno, Kepala LKPP Apresiasi Upaya Ning Ita Lestarikan Sejarah di Kota Mojokerto Kota Mojokerto, Kepala | mas tamvan